Kamis, 28 Agustus 2008

Ramadhan: Sarana Untuk Mewujudkan Ketakwaan Personal dan Sosial


Bulan Rajab belum lama kita lalui. Bulan Sya’ban sebentar lagi kita akhiri. Kini, bulan Ramadhan segera datang menghampiri. Terkait dengan ketiga bulan mulia ini, Baginda Rasulullah saw. secara khusus memanjatkan doa ke haribaan Allah SWT:
«اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَ شَعْبَانَ وَ بَلِّغْنَا رَمَضَانَ وَ حَصِّلْ مَقَاصِدَنَا»
Duhai Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan pada bulan Sya’ban ini; sampaikanlah diri kami pada bulan Ramadhan; dan tunaikanlah keinginan-keinginan kami (HR Ahmad).
Ibarat samudera, Ramadhan menyimpan sejuta mutiara kemuliaan, memendam perbendaharaan segala keagungan dan di dalamnya bersemayam aneka kebesaran. Ramadhan juga merupakan cakrawala curahan karunia Allah SWT karena semua aktivitas hamba yang beriman pada bulan ini dinilai sebagai ibadah. Kecil yang dilakukan tetapi besar pahalanya di sisi Allah. Ringan yang dikerjakan namun berat timbangan di hadapan Allah. Apalagi jika amal yang besar dan berat, tentu akan mampu melesatkan hamba ke derajat kemuliaan dan meraih kenikmatan surga-Nya.
Datangnya Ramadhan bagi orang Mukmin adalah laksana ‘kekasih’ yang sangat ia rindukan; dengan sukacita ia akan menyiapkan segala sesuatu yang dapat mengantarkan perjumpaan menjadi penuh makna, berkesan dalam dan senantiasa melahirkan harapan-harapan mulia.
Begitu dasyatnya kemuliaan Ramadhan, Rasulullah saw. di penghujung bulan Sya’ban berkhutbah di hadapan manusia menjelaskan berbagai keutamaannya:
Wahai manusia sekalian…
Akan datang menaungi kalian bulan yang agung dan penuh berkah; bulan yang di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang di dalamnya Allah wajibkan berpuasa dan melaksanakan qiyâm tathawwu’ (salat sunnah tarawih). Siapa saja pada bulan itu mendekatkan diri dengan sebuah amal kebaikan, ia seperti telah melaksanakan kewajiban…Siapa saja yang mengerjakan kewajiban, ia seperti melaksanakan tujuh puluh kewajiban…
Ramadhan adalah bulan sabar. Sabar itu pahalanya surga. Ramadhan adalah bulan memberi pertolongan dan bulan Allah memberikan rezeki kepada Mukmin. Siapa saja yang memberi makan berbuka seseorang yang berpuasa, yang demikian itu merupakan pengampunan bagi dosanya dan keeselamatan dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tanpa sedikitpun berkurang…Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi sebutir kurma, atau seteguk air, atau sehirup susu.
Dialah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka. Siapa saja yang meringankan beban dari budak sahaya (termasuk di sini para pembantu rumah) niscaya Allah mengampuni dosanya dan memnyelamatkannya dari neraka. Karena itu, perbanyaklah empat perkara di bulan Ramadhan; dua perkara untuk mendatangkan keridhaan Tuhan kalian dan dua perkara lagi yang sangat kalian butuhkan. Dua perkara yang pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan memohon ampunan-Nya. Dua perkara yang sangat kalian perlukan ialah memohon surga dan perlindungan dari neraka… (HR Ibnu Huzaimah).
Kemulian dan keistimewaan Ramadhan juga terlukis dalam hadis Nabi saw. melalui penuturan Abu Hurairah ra.:
«إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةُ وَ غُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارُ وَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ»
Jika Ramadhan datang, pintu-pintu surga dibuka; pintu-pintu neraka ditutup; dan setan-setan dibelenggu (HR Muslim).
Derajat yang Harus Diraih
Kita patut merenungkan kembali firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. (QS al-Baqarah [2]: 183).
Dari ayat ini, tanpa harus melalui pengkajian mendalam kita memahami bahwa target akhir dari pelaksanaan kewajiban shaum adalah takwa. Artinya, shaum adalah medium sekaligus momentum perubahan untuk mewujudkan individu dan masyarakat yang bertakwa.
Ayat tersebut diserukan kepada orang-orang yang beriman. Ini mengisyaratkan bahwa puasa akan mengantarkan pada ketakwaan jika dilakukan atas dorongan keimanan. Amal-amal Ramadhan akan bermakna dan berpengaruh jika didasari oleh keimanan.
Sayangnya, justru di sinilah yang menjadi kelemahan selama ini. Prosesi, ritual dan aktivitas Ramadhan sering tidak didasari oleh iman. Puasa dijalankan sering karena alasan sudah menjadi tradisi, bukan karena keimanan dan harapan akan ridha-Nya. Ramainya majelis zikir dan pengajian bisa jadi lebih karena terbawa suasana religius Ramadhan, bukan didasari oleh keyakinan bahwa semua itu adalah bagian dari kewajiban mengkaji Islam, dakwah, amar makruf nahi mungkar. Program-program religi mungkin diadakan lebih karena alasan bisnis, bukan karena keyakinan sebagai bagian dari kewajiban mewujudkan kehidupan yang islami. Penutupan tempat-tempat maksiat dan penghentian kemaksiatan pun dilakukan untuk menghormati kesucian Ramadhan karena toleransi, bukan didasari oleh keyakinan bahwa segala bentuk kemaksiatan besar ataupun kecil akan mendapatkan azab Allah kelak di akhirat.
Bisa juga Ramadhan selama ini menjadi kurang bermakna dan lemah pengaruhnya karena realitas takwa yang menjadi hikmah puasa itu sendiri belum dihayati. Ketakwaan adalah hikmah dari puasa. Mereka yang berpuasa harus senantiasa memperhatikan dan mengupayakan secara maksimal agar ketakwaan terwujud dalam dirinya. Ketakwaan adalah derajat yang paling mulia bagi hamba yang beriman. Allah SWT berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa (QS al-Hujurat [49]: 13).
Hakikat Takwa
Takwa berasal dari kata waqâ-yaqî-waqyan, yang dalam bahasa Arab diubah menjadi taqwa untuk membedakan antara isim dan sifat, yang meliputi makna: menjaga, menjauhi, takut dan berhati-hati. Dalam takwa itu rasa takut dan cinta kepada-Nya menyatu; berjalan seiring dan saling berkelindan. Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, takwa kepada Allah itu bukan dengan terus-menerus shaum di siang hari, shalat di malam hari atau sering melakukan kedua-duanya; takwa kepada Allah tidak lain adalah dengan meninggalkan apa saja yang Allah haramkan dan menunaikan apa saja yang Allah wajibkan. Siapa yang melakukan kebaikan setelah itu, itu adalah tambahan kebaikan di atas kebaikan.
Para Sahabat yang mulia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib kw., sering menyatakan bahwa takwa adalah:
اَلْخَوْفُ مِنَ الْجَلِيْلِ وَ الْعَمَلُ بِالتَنْزْيِلِ وَ اْلإِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ الرَّحِيْلِ
(Takut kepada Zat Yang Mahaagung; mengamalkan al-Quran; menyiapkan diri untuk menyambut datangnya hari yang kekal [akhirat]).
Dengan kata lain, takwa adalah kesadaran akal dan jiwa serta pengetahuan syar’i akan wajibnya mengambil halal-haram sebagai standar bagi seluruh aktivitas dan merealisasikannya secara praktis (’amalî) di tengah-tengah kehidupan. Nilai esensial dari seluruh ibadah wajib dan sunnah pada bulan Ramadhan ini harus mewujud dalam sebuah spektrum jiwa yang pasrah, tunduk dan sepenuhnya berjalan di bawah kesadaran ketuhanan (ihsân). Semua ini bermuara pada sebuah kesadaran bahwa Allahlah satu-satunya yang wajib disucikan (dengan hanya beribadah kepada-Nya) baik di kesunyian ataupun di keramaian; dalam kesendirian maupun berjamaah; di waktu malam ataupun siang; dalam keadan sempit atau lapang; di daratan ataupun di lautan. Semua itu mengalir sampai ujung batas kesempatan hidupnya.
Ketakwaan Personal dan Sosial
Takwa harus tercermin dalam kesediaan seorang Muslim untuk tunduk dan patuh pada hukum Allah. Kesediaan kita untuk tunduk dan patuh pada seluruh hukum syariah Islam inilah realisasi dari ketakwaan dan kesalihan personal kita.
Secara personal, hukum syariah seperti shalat, puasa, zakat, memakai jilbab, berakhlak mulia, berkeluarga secara islami; atau bermuamalah seperti jual-beli, sewa-menyewa secara syar’i dan sebagainya bisa dilaksanakan saat ini juga. Begitu ada kemauan, semua itu bisa dilakukan.
Namun, dalam konteks sosial, banyak hukum syariah yang saat ini seolah begitu sulit dilakukan, seperti:
Peradilan/persanksian (misal: qishâsh, potong tangan bagi pencuri, cambuk/rajam bagi pezina, cambuk bagi peminum khamr, dsb).
Ekonomi (misal: hukum tentang kepemilikan, pengelolaan kekayaan milik umum, penghapusan riba dari semua transaksi, dsb).
Politik Luar Negeri (misal: dakwah ke luar negeri dan jihad/perang).
Kewarganegaraan (misal: hukum tentang status kafir dzimmi, musta’min dan mu’âhad).
Kaum Muslim sesungguhnya diperintahkan untuk menjalankan semua hukum syariah tersebut. Kaum Muslim juga diperintahkan untuk memutuskan semua perkara di tengah-tengah masyarakat dengan hukum-hukum Allah. Sebagaimana hukum-hukum yang bersifat personal wajib dilaksanakan, demikian pula dengan hukum-hukum yang bersifat sosial. Hanya saja, semua hukum yang terkait dengan pengaturan masyarakat di atas adalah kewenangan penguasa/pemerintah, bukan kewenangan individual/personal. Karena itu, justru di sinilah pentingnya kaum Muslim memiliki penguasa (yakni Khalifah) dan sistem pemerintahan yang sanggup menerapkan hukum-hukum Islam di atas (yakni Khilafah). Inilah wujud ketakwaan kita secara sosial. Ketakwaan dan kesalihan sosial ini dengan sendirinya mendorong kita untuk gigih memperjuangkan penerapan semua hukum-hukum Allah terkait dengan masalah sosial kemasyarakatan tersebut.
Selama bulan Ramadhan ini, kita secara ruhiah memang dilatih untuk meningkatkan ketundukan dan ketaatan pada syariah. Pada bulan Ramadhan ini, hal-hal yang notabene biasa kita lakukan di luar Ramadhan—seperti makan, minum dan berhubungan suami-istri—ternyata bisa kita tinggalkan. Jika yang halal saja (di luar Ramadhan) bisa kita tinggalkan pada bulan Ramadhan ini, apalagi yang haram. Jika yang sunnah seperti shalat tarawih, sedekah dan sebagainya saja bisa kita lakukan, apalagi yang wajib. Artinya, dengan kemauan yang besar, semua hukum syariah yang Allah bebankan kepada kita, pasti bisa kita laksanakan. Ramadhan yang segera akan menyapa kita adalah madrasah untuk mewujudkan itu semua.
Akhirnya, marilah kira merenungkan firman Allah SWT:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ
Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami akan membukakan pintu keberkahan atas mereka dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).
Wallâhu a’lam bi ash-shawab

What’s Wrong With Syariah ?


Sungguh menyesakkan dada melihat pelecehan Bung Thamrin A. Tamagola terhadap aturan Allah SWT (syariah Islam) dalam sebuah diskusi di TVone (Kamis malam , 03/07/2008). Diskusi hangat yang mengambil tema “Islam yes , Negara Islam ?” banyak menyoal penerapan syariah Islam oleh negara. Dengan mengambil kasus Perda yang diklaimnya sebagai berbau syariah Bung Thamrin berusaha keras membangun opini sesat . Seolah-olah syariah Islam mengancam wanita , merugikan wanita. Diambillah contoh kasus, wanita dilarang keluar di malam hari , padahal hanya membeli sesuatu.
Sebenarnya tidak ada yang disebut dengan perda syariah Islam sekarang ini . Tidak pernah ada aturan di daerah yang disebut perda syariah. Bahwa ada aturan yang diambil dari nilai-nilai Islam itu benar, namun perlu dicatat perda itu diterapkan bukan karena berdasarkan syariah Islam . Perda itu disahkan oleh DPRD. Artinya, perda itu diterima karena mayoritas anggota DPRD mensahkan lewat mekanisme yang demokratis.
Tentu saja tidak tepat menolak syariah Islam , hanya dengan kasus perda yang diklaim berbau syariah. Kami ingin sampaikan syariah Islam bukan sekedar kewajiban kerudung, larangan terhadap pelacuran, atau larangan berkholwat. Mereka yang menolak syariah Islam sering kali terjebak pada apa yang disebut logika fallacy of composition, mengambil kasus-kasus yang tidak utuh , bahkan tidak bisa sepenuhnya disebut syariah Islam, untuk membangun citra negatif penerapan syariah Islam oleh negara.
Sebagai contoh tentang wanita keluar malam. Hukum asalnya sendiri tidak ada larangan wanita untuk keluar malam. Boleh saja dia keluar untuk keperluan tertentu, ke warung atau ke tetangganya. Namun kalau keluarnya wanita keluar rumah di malam hari mengancam keamanan dan kehormatannya , negara yang bertanggung jawab kepada rakyatnya justru harus melarang dan mencegahnya. Jangankan wanita, laki-laki keluar malam tapi mengancam nyawanya, sah-sah saja negara yang tidak ingin warganya celaka melakukan larangan. Perlu digaris bawahi larangan muncul karena ada sesuatu yang mengancam nyawa atau kehormatan wanita tersebut, bukan keluar rumahnya. Disisi lain, pro sekuler tidak melihat bagaimana menyedihkannya nasib wanita dibawah sistem sekuler. Ekploitasi terhadap wanita terjadi dimana-mana baik secara seksual maupun ekonomi.
Seharusnya kita lebih utuh melihat syariah Islam. Berdasarkan syariah Islam , negara wajib menjamin kebutuhan sandang, pangan, dan papan perindividu masyarakat yang menjadi warga negara, baik muslim maupun non muslim. Kalau ada rakyatnya tidak makan atau tidak punya rumah , berdasarkan syariah Islam negara wajib memenuhi kebutuhan itu dengan gratis. Dalam pandangan syariah Islam negara wajib menjamin pendidikan gratis dan kesehatan gratis bagi seluruh warganya baik muslim maupun non muslim. Sekali lagi ,What’s wrong with syariah ?
Syariah Islam juga mengatur masalah kepemilikan antara lain pemilikan umum (milkiyah ‘amah). Dimana kepemilikan umum ini adalah milik rakyat dan tidak boleh individu (swasta) apalagi asing untuk memilikinya. Berdasarkan ini listrik, air, hutan adalah milik umum yang tidak boleh dimiliki individu(swasta). Pemilikan individu atau swasta pada bidang strategis ini akan menyebabkan terganggunya kepentingan umum.
Termasuk dalam pemilikan umum adalah barang-barang tambang dalam jumlah yang besar seperti minyak, batu-bara, emas. Dilarang bagi individu atas swasta memilikinya. Tambang itu harus dikelola dengan manejemen yang baik, transparan, profesional oleh negara dan hasilnya diserahkan untuk rakyat. Jelas ini merupakan pemasukan negara yang sangat besar. Negara bisa menggunakannya untuk pendidikan dan kesehatan gratis. Syariah Islam mengatur hal itu.
Syariah Islam menjamin keamanan rakyatnya dengan memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku pembunuhan yakni hukuman mati. Pemilikan individu yang diperoleh seseorang dengan kerja keras dan halal dijaga oleh Islam, pelaku pencurian akan diberikan sanksi tegas yakni potong tangan. Dengan catatan, dia mencuri lebih dari 1/4 dinar dan mencuri bukan karena lapar. Kalau dia mencuri karena lapar , negara tidak boleh menghukumnya. Negara justru harus memberikan dia makan. So,What’s wrong with syariah ?
Pelaku korupsi pun diberikan sanksi tegas oleh negara. Bisa sampai hukuman mati. Bukan hanya sanksi , segala hal yang mengantarkan kepada terbukanya peluang untuk korupsi ditutup. Berdasarkan syariah Islam, seseorang tidak boleh memberikan hadiah kepada hakim atau pejabat negara. Suap menyuap dilankat Allah dan dilarang dengan sanksi yang tegas. Umar bin Khoththob saat menjadi Kholifah memerintahkan siapapun pejabat harus dihitung kekayaannya sebelum menjabat. Pada akhir jabatannya, dihitung lagi. Kalau ada yang berlebih dari yang sepantasnya dia terima, harus dipertanggung jawabkan. Negara boleh saja mengambil uang yang tidak jelas itu. Ini adalah syariah Islam .
Argumentasi lain yang dibangun untuk menolak syariah Islam dengan mengatakan syariah Islam seakan-akan hanya untuk kelompok tertentu.Tentu saja yang dimaksud adalah Islam. Bung Thamrin mencontohkan UU Migas yang dibatalkan oleh MK, karena tidak memihak kepada rakyat. Padahal UU Migas muncul karena kebijakan negara yang sekuler-kapitalis. Lagi-lagi ini terjadi salah paham terhadap syariah Islam. Bukankah syariah Islam itu rahmatan lil ‘alamin ? baik bagi seluruh alam , seluruh manusia, tidak pandang dia muslim atau non muslim. Mungkinkah syariah Islam yang bersumber dari Allah yang memiliki sifat ar rahman (Maha Pengasih) ar rahim (Maha Penyayang) itu akan mencelakakan manusia.
Sesungguhnya penerapan syariah Islam adalah untuk kebaikan seluruh warganya baik muslim dan non muslim. Kewajiban negara menjamin sandang, pangan, dan papan indidu rakyat, bukan hanya muslim tapi juga non muslim. Pendidikan dan kesehatan gratis bukan hanya untuk muslim tapi juga non muslim. Bahkan warga non muslim yang dalam syariah disebut Ahlul Dzimmah dijamin keamanannya oleh negara. Sampai-sampai Rosulullah saw mengatakan siapa yang menyakiti ahlul dzimmah , berarti menyakitiku.
Bung Thamrin sepertinya sangat kritis terhadap syariah Islam. Tapi agak kurang kritis terhadap sistem sekuler yang diadopsi Indonesia saat ini. Padahal sistem sekuler -yang dibangga-banggakan Bung Thamrin ini- telah menjadi dasar yang kokoh bagi penerapan sistem Kapitalisme. Hal itu terjadi karena agama tidak boleh campur tangan dalam masalah ekonomi, politik, atau pendidikan. Akibatnya negara diatur oleh sistem kapitalisme.
Kita lihat sendiri bagaimana hasilnya. Kemiskinan meningkat akibat liberasisasi sektor migas yang berimbas pada kenaikan BBM. Beban masyarakat bertambah akibat mahalnya pendidikan dan kesehatan setelah diliberalisasi. Kekayaan alam kita dirampok oleh asing atas nama free market dan investasi asing, sebaliknya rakyat miskin dan busung lapar.
Kalau Bung Thamrin menolak syariah Islam hanya karena berasal dari kelompok Islam, bung Thamrin juga seharusnya menolak sistem sekuler-kapitalisme yang juga berasal dari satu kelompok masyarakat seperti Bung Thamrin yakni kelompok sekuler. Bung Thamrin juga seharusnya melihat ketika agama tidak boleh campur tangan dalam masalah kenegaraan, aturan kapitalisme yang berasal dari segelintir orang (para milik modal) lah yang diterapkan. Terjadilah tirani minoritas atas nama suara mayoritas.
Sering kali kelompok sekuler sangat alergi terhadap syariah Islam kalau diterapkan negara. Pertanyaan kritis, kenapa anda hanya mempersoalkan kalau syariah diterapkan oleh negara ? Sebaliknya melegalkan sekulerisme,kapitalisme, diterapkan oleh negara ? Cara pandang ini jelas tidak obyektif. Menolak syariah Islam diterapkan negara ,hanya karena berasal dari Islam sungguh tidak obyektif. Sementara ide-ide Kapitalisme yang sebenarnya berasal dari pemikir-pemikir Barat diterima dengan lapang dada tanpa sikap kritis.
Bahwa umat Islam membutuhkan negara Islam , sebenarnya bisa dimengerti. Sebab, sistem apapun pastilah membutuhkan negara, sebab negaralah yang memiliki otoritas ,legalitas, dan kekuatan memaksa. Sistem kapitalisme untuk bisa diterapkan jelas butuh negara yang berdasarkan kapitalisme. Untuk bisa menerapkan sosialisme jelas butuh negara yang berasas sosialisme. Logika ini sangat sederhana. Artinya, tidak akan mungkin syariah Islam secara menyeluruh bisa diterapkan tanpa legalitas negara. Penentuan mata uang berdasarkan emas (dinar), tidak bolehnya tambang emas dan minyak dikuasai oleh asing, kewajiban untuk menjamin kebutuhan masyarakat pasti membutuhkan negara. Termasuk memberikan sanksi bagi pezina, penjudi, pencuri, pemerkosa, pembunuh, tentu butuh legalitas negara yang memaksa. Jadi kalau umat Islam membutuhkan negara Islam adalah normal-normal saja. Apalagi kalau rakyat menghendaki, tentu tidak ada alasan untuk menolaknya .
Ironisnya, Bung Thamrin menyalahkan agama. Menurutnya agama gagal menyelesaikan persoalan kemiskinan komunitas umatnya . Kalau agama yang dimaksud bung Thamrin adalah Islam, jelas tuduhan anda salah alamat. Bagaimana mungkin anda menyalahkan Islam, padahal negara saat ini tidak menerapkan syariah Islam.
Apalagi, masalah kemiskinan jelas tidak bisa diserahkan kepada komunitas umat beragama . Penyelesaikan persoalan kemiskinan membutuhkan kebijakan politik. Menghentikan kebijakan yang membolehkan asing menguasai tambang emas dan minyak kita jelas butuh kekuatan dan kebijakan politik. Kenaikan BBM adalah kebijakan politik yang bisa dihentikan juga dengan kebijakan politik. Kalau Bung Thamrin ingin melihat bagaimana Islam menyelesaikan persoalan kemiskinan, seharusnya Bung Thamrin bisa menerima syariah Islam diterapkan oleh negara. Sebab tanpa negara yang menerapkan syariah Islam tidak akan bisa diwujudkan secara total.
Perlu kami tegaskan semua cara pandang seperti Bung Thamrin adalah cara pandang sekuler. Dimana agama hanya diakui dalam masalah indivual, moral, atau ritual. Sebaliknya agama harus dijauhkan dari persoalan politik, ekonomi, dan ketatanegaraan lainnya. Padahal sekulerisme telah menimbulkan bencana yang luar biasa. Seharusnya yang disalahkan adalah sekulerisme yang menjadi asas dari sistem kapitalisme. Inilah yang menjadi pangkal bencana yang menyusahkan masyarakat. Bukan syariah Islam. Jadi kegigihan siapapun menyalahkan syariah Islam dan sebaliknya membela sekulerisme membuat posisinya harus dipertanyakan. Apakah anda berpihak kepada rakyat atau tidak ?

Penegakkan Syariat Islam Di Aceh


Penegakan syariat Islam terus dilakukan Dinas Syariat Islam dan keluarga Sejahtera agar dapat diterapkan secara kaffah (menyeluruh) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
“Kita terus melakukan berbagai upaya untuk menegakkan syariat Islam dengan mengajak warga melaksanakannya penuh kesadaran,” kata Kepala Dinas Syariat Islam dan Keluarga Sejahtera Natsir Ilyas melalui Humasnya Wirzaini Usman di Banda Aceh, Jumat (08/08/08), seperti dikutip Kantor Berita Antara.
Implementasi syariat Islam secara kaffah hendaknya mendapat perhatian dari seluruh masyarakat, terutama menyangkut persolan yang telah diatur dalam qanun (peraturan daerah) Aceh mengenai syariat Islam, katanya.
Upaya yang dilakukan seperti mengoptimalkan razia gabungan maupun sosialisasi melalui pengeras suara oleh mobil operasional dinas yang mengimbau masyarakat terutama kaum muslim untuk melaksanakan shalat Jumat di masjid.
Imbauan untuk melaksanakan shalat Jumat tersebut rutin dilakukan petugas penegak syariat (Wilayatul Hisbah/WH) terutama petugas perempuan yang mengingatkan kaum laki-laki untuk melaksanakan perintah agama itu.
Sejak pukul 09.00 WIB mereka telah berkeliling menyuarakan imbauan shalat Jumat. Menjelang shalat yang diwajibkan bagi kaum laki-laki itu atau sekitar pukul 12.00 WIB mereka kembali berpatroli terutama ke tempat-tempat yang ramai untuk mengarahkan laki-laki ke masjid.
Namun, katanya masih ada yang belum melaksanakan kewajiban tersebut karena banyak warga yang belum mematuhinya. Sementara sebagian besar pedagang sudah mulai menaati peraturan untuk menutup tokonya saat menjelang shalat.
Razia penegakan syariat Islam terutama bagi kaum perempuan yang belum memakai pakaian sesuai syariat juga terus dilakukan. Menurut dia sejak awal 2008 hingga saat ini seribuan orang telah terjaring razia dan diperingatkan untuk menggunakan pakaian lebih sopan.
Subhaanallah, sungguh indah hidup ini bila syariat ditegakkan, apalagi jika ditegakkan secara sempurna. Bukan saja ketenangan yang diperoleh, namun juga mendapat keridhoan dari-Nya. Kaum Muslim berkewajiban untuk menerapkan Islam secara sempurna, sebagaimana firman Allah Swt. dalam al-Quran,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS. Al-Baqarah: 2008)
Kaum muslim sudah selayaknya hidup bawah naungan aturan-Nya. Karena Allah Swt., Pencipta manusia telah menurunkan aturan yang sempurna untuk kehidupan manusia di dunia ini. Namun, tanpa keberadaan institusi Khilafah bagaimana hal tersebut dapat terwujud?